Tak sanggup menyapa. Meskipun aku ingin sekali. Hanya sekadar menyanyakan,
“Apa kabarmu??”. Sekarang rasanya begitu sulit untuk dilakukan. Berulang kali ku yakinkan diriku sendiri, agar dapat mengendalikan perasaanku, mengendalikan diriku, mengendalikan keinginanku, dan berfikir rasional menggunakan logika; untuk tak lagi mengganggumu, tak lagi menghubungimu. Karena tak berani aku.
Karena anggapku, kau tak ingin lagi ada aku. Karena anggapku, kau sudah melupakanku. Karena anggapku, dihatimu tak lagi ada aku. Karena anggapku, kau tak peduli lagi padaku. Memang, aku tak pernah menannyakan langsung padamu, karena tak berani aku. Entah sejak kapan, aku jadi pengecut. Entah sejak kapan aku menjadi skeptis terhadap itu.
Aku tahu, pada akhirnya mungkin suatu saat nanti aku akan lupa. Tapi entah kapan. Dan menjelang hari itu datang, kadang masih ada sedikit bayang-bayang maupun kenangan yang menghantui, meminta untuk dipikirkan. Seperti saat ini.
Pada akhirnya, suatu saat nanti, aku akan malu mengakui ini. Bahwa aku masih mengingatmu (jika kata rindu terlalu berlebihan untukmu). Pikirku, berulang kali, ini yang terbaik. Sendiri. Karena aku tak lagi berani mencintai. Entah kapan sampai aku benar2 siap. Karena kupikir, derita bernama kehilangan terlalu berat untuk ku. Karena kupikir, kata cinta berarti totalitas yang kuberikan. Maka aku memasang perisaiku lagi, untuk melindungi diriku sendiri.
Mungkin hanya kata ‘menghargai’yang bisa menggambarkan rasaku. Bahwa aku menghargai hidupmu, maka aku tak lagi mengganggumu. Aku menghargai keputusanmu, maka aku tak lagi mengharapkanmu. Aku menghargai kejujuranmu, maka aku tak bertanya alasanmu, maka aku percaya padamu. Aku tak lagi menemuimu, maka aku menghargai keadaanmu. Aku menghargai perasaanmu dan aku menghargai perasaanku sendiri.
Aku ingin selalu tersenyum. Walaupun ada atau tiada cintaku. Karena bukan hanya itu alasanku tersenyum. Dan aku ingin selalu jujur, pada apa yang kurasa, pada apa yang kuingin, pada apa yang kupercaya. Dan sekarang aku bertanya, “Apa kabarmu??”